Thursday, January 10, 2019

Aksiologis Pendidikan Matematika untuk Meningkatkan Pendidikan Karakter


Aksiologis Pendidikan Matematika
untuk Meningkatkan Pendidikan Karakter
Oleh : Rindang Maaris Aadzaar dan Marsigit

1.       PENDAHULUAN
Karakter selalu erat hubungannya dengan suatu bangsa, keunggulan suatu bangsa, keunggulan atas bangsa lain, dan pembeda unik yang dimiliki setiap bangsa. Setiap bangsa pasti memiliki karakternya sehingga memiliki identitas sebagai suatu bangsa yang luhur. Hal ini berdampak pada pendidikannya dimana pendidikan yang ada pada sebuah bangsa juga harus menanamkan karakter kepada masyarakatnya. Menurut Dujmeransyah, pendidikan adalah kegiatan untuk memberikan pengetahuan agar kebudayaan dapat terus diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya. Dengan begitu, karakter bangsa tidak akan hilang termakan perkembangan zaman.

Dalam pendidikan matematika, landasan filosofis dirasa sangatlah penting. Landasan filosofis tersebut adalah landasan aksiologis dimana merupakan landasan yang memusatkan pada hakikat, makna, dan peran nilai dalam kehidupan. Hal ini dirasa penting terutama untuk diterapkan di Indonesia karena pendidikan yang ada sebelumnya cenderung mengorbankan nilai kehidupan yang manusiawi. Pendidikan seharusnya lebih memanusiakan manusia sehingga secara konstitusional, manusia dididik seutuhnya dalam rangka pencerdasan kehidupan bangsa.
Anggapan matematika dalam pendidikan selalu merupakan mata pelajaran yang sulit, membosankan dan melelahkan. Hal ini dikarenakan matematika dirasa merupakan mata pelajaran yang penuh dengan simbol dan disajikan secara abstrak. Untuk mempelajari matematika, penggunaannya harus dimaknai untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Peran guru disini sangat penting dan guru harus mengajarkan bagaimana siswa dapat mendapatkan pengetahuan dengan menanamkan konsep matematika. Hal tersebut sangat penting karena matematika memang harus diajarkan sejak sekolah dasar sehingga siswa tumbuh sebagai individu yang dapat menggunakan matematika pada masa mendatang dan untuk jenjang yang lebih tinggi lagi.
Berdasarkan landasan aksiologi dalam pendidikan matematika, matematika tidak hanya bersifat formal, nilai yang terkandung di dalam matematika dan tujuan dalam mempelajari matematika juga harus dipikirkan. Penerapan pendidikan matematika dalam kehidupan sehari-hari harus benar-benar diperhatikan. Nilai dapat dipandang berdasarkan konsep tentang segala sesuatu yang dirasa penting dalam kehidupan dan suatu kebersihan pemikiran. Dengan begitu, nilai berada dalam diri dan hati manusia yang terdiri dari ide dan gagasan tentang hal tersebut.
Berdasarkan pemaparan yang ada di atas, makalah ini akan mengulas lebih lanjut mengenai penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari untuk menanamkan pendidikan karakter. Dengan kata lain, makalah ini akan membahas aksiologis pendidikan matematika untuk meningkatkan pendidikan karakter.

2.       AKSIOLOGIS
Aksiologi secara etimologi berasal dari kata axia (nilai, value bahasa Inggris), dan logos (perkataan, pikiran, ilmu). Aksiologi berarti ilmu pengetahuan yang menyelidiki hekikat nilai dan pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Menurut Bakker dan Kattsoff, satu hal yang sangat penting bahwa makna hakiki nilai dalam perspektif aksiologis akan berlaku bagi segala sesuatu yang ada (pengada). Pengada, dalam konsep Bakker, meliputi segala yang ada baik benda mati maupun benda hidup, dari taraf yang paling tinggi, bahkan Tuhan pun bisa disebut pengada.
Aksiologis adalah dasar ilmu pengetahuan tentang nilai dari kegunaan ilmu. Aksiologi merupakan teori tentang nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi terbagi dalam tiga bagian, yaitu moral conduct, esthetic expression, dan sosio-political life. Moral conduct adalah tindakan moral yang melahirkan disiplin khusus berupa etika. Esthetic expression adalah ekspresi keindahan dimana melahirkan keindahan. Sosio-political life adalah kehidupan sosial politik dimana melahirkan filsafat sosiopolitik.
Masalah utama dalam aksiologi yaitu mengenai nilai teori tentang nilai dalam filsafat yang mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia. Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh menusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai dimana harus ada transendensi bahwa ilmu pengetahuan terbuka pada konteksnya dan agamalah yang menjadi konteks itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya dengan memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah agar manusia sadar akan hakikat penciptaan dirinya. Sehingga tidak mengarahkan ilmu pengetahuan tidak hanya bertumpu pada material duniawi. Hal tersebut harus berpijak pada nilai moral agama. Ilmu pengetahuan itu bebas nilai dan nilai agama harus menjadi nilainya.
Terdapat dua pandangan yang berlaku berkenaan dengan ilmu dalam perspektif nilai moral. Pandangan pertama adalah ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Pandangan kedua adalah netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan. Dalam penggunaannya, metafisik keilmuan harus berdasarkan nilai-nilai moral. Dari dua pandangan tersebut, terlihat netralitas ilmu terletak pada epistemologinya saja yang artinya tanpa berpihak kepada siapa pun selain kepada kebenaran yang nyata. Secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan etika moral dan estetika yang kuat.

3.       AKSIOLOGIS DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA
Ditinjau melalui aspek aksiologi, maternatika seperti ilmu-ilmu yang lain. Matematika ikut memberikan kontribusi perubahan bagi kehidupan umat manusia. Segala ilmu di dunia ini tidak bisa lepas dari pengaruh maternatika. Selain itu, matematika juga dipandang sebagai ilmu abstrak yang tidak bebas nilai dan moral. Hal tersebut membuat hasil pemikiran seorang matematikawan bisa bermanfaat bagi masyarakat karena segala sesuatu yang dihasilkan dipikirkan secara mendalam dan teliti sehingga hasilnya diakui.
Matematika juga memiliki manfaat untuk ilmu pengetahuan yang lain dan untuk kehidupan masyarakat. Matematika bisa digunakan untuk membantu manusia dalam berdagang dan bidang perekonomian yang lainnya. Dengan menggunakan matematika, manusia juga dapat berpikir secara matematis dan logis. Selain itu, matematika dapat melatih cara berfikir dan benalar dalam menarik kesimpulan. Contohnya adalah untuk kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkonistensi hingga mengembangkan kemampuan dan menyampaikan informasi atau mengomunikasikan gagasan melalui lisan, catatan, grafik, dan peta.
Aksiologi dalam pendidikan matematika juga memilihi peran yang penting karena pendidikan matematika memiliki manfaat yang sangat besar untuk siswa. Matematika memang selalu terkenal sebagai pelajaran yang menjadi “momok” bagi siswa. Walaupun demikian, matematika tidak bisa dihindari dan harus tetap dipelajari dalam dunia pendidikan karena matematika merupakan akar dari berbagai macam ilmu pengetahuan. Salah satu manfaat yang bisa didapatkan dari pendidikan matematika adalah siswa juga dapat membentuk karakternya melalui aksiologis alam pendidikan matematika.

4.       LANDASAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
Landasan atau dasar dari pendidikan matematika menurut Paul Ernest (1994) adalah sebagai berikut:
"Apa dasar dari pendidikan matematika sebagai bidang pengetahuan? Apakah pendidikan matematika suatu disiplin, bidang penyelidikan, bidang interdisipliner, domain aplikasi ekstra-disiplin, atau apa? Apa hubungannya dengan disiplin ilmu lain seperti filsafat, sosiologi, psikologi, linguistik, dll? Bagaimana kita bisa tahu dalam pendidikan matematika? Apa dasar untuk klaim pengetahuan dalam penelitian dalam pendidikan matematika? Metode dan metodologi penelitian apa yang digunakan dan apa dasar dan status filosofis mereka? apakah komunitas riset pendidikan matematika menilai klaim pengetahuan? Standar apa yang diterapkan? Apa peran dan fungsi peneliti dalam pendidikan matematika? Bagaimana status teori dalam pendidikan matematika? Apakah kita memiliki disiplin dan konsep yang sesuai dari disiplin ilmu lain atau berkembang? kita sendiri? Bagaimana perkembangan modern dalam filsafat (post-strukturalisme, post-modernisme, Hermeneutika, semiotika, dll.) berdampak pada matematika pendidikan ematik? Apa dampak penelitian dalam pendidikan matematika pada disiplin ilmu lain? Dapatkah filosofi pendidikan matematika berdampak pada pengajaran dan pembelajaran matematika, penelitian dalam pendidikan matematika, atau pada disiplin ilmu lain?"
Pertanyaan-pertanyaan dapat muncul sebagai dasar dari matematika yaitu, epistemologi dan aksiologi. Hal tersebut bisa berupa studi tentang dasar ontologis pendidikan matematika, dasar epistemologis pendidikan matematika dan dasar aksiologis pendidikan matematika.

5.       PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan secara terencana dan bukan hanya untuk mengenal melalui pembelajaran kognitif saja, tetapi memerlukan adanya internalisasi nilai-nilai dan memerlukan kepedulian. Nilai-nilai dalam pendidikan karakter meliputi pada ranah kognitif dan psikomotoris. Tujuan dari pendidikan nilai tidak hanya untuk memiliki pengetahuan tentang nilai saja, tetapi juga untuk menumbuhkan rasa simpati dan empati. Oleh karena itu, waktu yang diperlukan tidak singkat agar dapat tertanam dengan baik dan siswa dapat memiliki budi pekerti yang luhur. Nilai-nilai yang perlu dihayati dan diamalkan saat pembelajaran di sekolah berlangsung adalah religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kerja cerdas, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca, peduli sosial, peduli lingkungan, dan tanggung jawab.
Ki Hadjar Dewantara dalam masalah pendidikan karakter berpendapat bahwa untuk mengasah kecerdasan budi sungguh baik karena dapat membangun budipekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Dengan begitu, seseorang akan senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli (bengis, murka, pemarah, kikir, keras, dan lain-lain) (Ki Hadjar Dewantara, 1977: 24). Orang yang memiliki kecerdasan budipekerti akan senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-rasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Oleh karena itu seseorang dapat kita kenal wataknya dengan pasti, yaitu karena watak atau budipekerti itu memang bersifat tetap dan pasti.
Program untuk meningkatkan pendidikan karakter berusaha untuk mengungkapkan variabilitas substansial. Pada perkembangan moral yang dianggap sebagai elemen yang penting, pendidikan karakter disebut sebagai program sekolah untuk meningkatkan karakteristik psikologis yang mampu memotivasi dan memungkinkan siswa bertindak secara etis, demokratis, sosial efektif, dan produktif. Program pendidikan karakter yang disarankan oleh Berkowitz et al. (2012) ditandai dengan lokasi pelaksanaannya di sekolah, pembinaan karakteristik psikologis tertentu, dan fokus pada karakteristik untuk meningkatkan fungsi etis dan sosial.

6.       NILAI-NILAI MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
Nilai adalah suatu hal yang sulit didefinisikan dengan jelas. Nilai moral merupakan konsep tentang standar perbuatan dan sikap yang menentukan kualitas diri. Hal tersebut bisa seperti siapa diri kita, bagaimana kita hidup dan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Menurut Susanto (2012), nilai moral dapat dibedakan menjadi dua yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai-nilai nurani (values of being) adalah nilai-nilai yang meliputi kejujuran, keberanian, cinta damai, keyakinan diri, disiplin diri, dan kesucian hati. Nilai-nilai memberi (values of giving) adalah nilai-nilai yang meliputi kesetiaan, penghormatan, kasih sayang, tidak egois, ramah dan bersikap adil.
Fraenkel (1977) mendefinisikan nilai sebagai berikut.
“A value is an idea – a concept – about someone thinks is important in life”
“Values are ideas about the worth of thinking, they are concepts, abstractions”.
Sehingga nilai dapat dipandang sebagai suatu konsep tentang segala sesuatu yang penting dalam kehidupan. Selain itu, nilai juga merupakan suatu kebersihan pemikiran. Nilai berada dalam diri sanubari setiap manusia yang berisikan ide, gagasan tentang kebersihan pemikiran yang penting dalam kehidupannya.
Swadener dan Soedjadi (1988) berpendapat bahwa nilai dapat dikategorikan menjadi nilai estetis (esthetic values) dan nilai etis (ethical values). Nilai estetis berkaitan dengan obyek-obyek keindahan. Nilai etis berkaitan dengan obyek yang dapat dinilai sebagai baik atau jelek yang berkaitan dengan perilaku. Nilai dapat diturunkan menjadi nilai budaya (cultural values), nilai praktis (practical values), nilai pendidikan (educational values) dan nilai sejarah (historical values). Nilai dapat merupakan nilai yang bersifat baik-buruk dan berkaitan dengan keindahan serta dapat diturunkan menjadi nilai budaya, nilai praktis, nilai pendidikan dan nilai sejarah. Hal tersebut mengacu pada pembelajaran matematika yang harus memperhatikan terwujudnya nilai praktis dan nilai guna. Sehingga pentingnya penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari benar-benar dijelaskan secara eksplisit dan secara implisit dalam setiap pembelajaran kepada siswa.
Menurut Marsigit (2011), pendidikan karakter dalam pendidikan matematika di sekolah dapat diawali dengan mendefinisikan hakekat matematika sekolah. Ebbutt, S dan Straker, A., (1995) berpedapat bahwa matematika sekolah adalah kegiatan untuk melakukan penelusuran pola dan hubungan; kegiatan yang memerlukan kreativitas, imajinasi, intuisi, dan penemuan; kegiatan yang memerlukan komunikasi; kegiatan pemecahan masalah; kegiatan untuk memperoleh jawaban-jawaban persoalan matematika dengan algoritma; dan kegiatan yang memerlukan interaksi sosial. Pendidikan matematika untuk meningkatkan pendidikan karakter di sekolah dapat menekankan kepada hubungan antar manusia dalam dimensinya dan menghargai adanya perbedaan individu baik dalam kemampuan maupun pangalamannya.
Matematika dipandang sebagai kebenaran yang absolut dan pasti, tetapi peran individu sangat menonjol dalam pencapaiannya. Siswa dapat dipandang sebagai makhluk yang berkembang (progress). Matematika dipandang secara lebih manusiawi antara lain dapat dianggap sebagai Bahasa dan kreativitas manusia. Adanya pendapat pribadi sangat dihargai dan ditekankan sehingga siswa mempunyai hak individu untuk melindungi dan mengembangkan diri melalui pengalamannya yang sesuai dengan potensinya. Kemampuan dari mengerjakan soal-soal matematika bersifat individu.
Siswa berbeda antara satu dengan lainnya dalam penguasaan matematika. Siswa dianggap mempunyai kesiapan mental dan kemampuan yang berbeda-beda dalam mempelajari matematika. Setiap individu memerlukan kesempatan, perlakuan, dan fasilitas yang berbeda-beda dalam mempelajari matematika. Oleh karena itu, matematika memiliki banyak tuntutan untuk mempelajarinya. Hal tersebut terasa tidak mungkin untuk dilakukan tanpa adanya penyampaian matematika yang baik dalam pembelajaran. Matematika harus disampaikan tidak hanya berdasarkan materinya saja, tetapi nilai-nilai matematika juga harus disampaikan dengan baik.

7.       HERMENITIKA AKSIOLOGIS PENDIDIKAN MATEMATIKA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Menurut Marsigit (2011), unsur dasar hermenitika pendidikan matematika dalam pendidikan karakter adalah suatu kegiatan untuk mengomunikasikan matematika pada berbagai dimensi. Komunikasi tersebut sebagai bentuk vitalitas potensi-potensi relational antara subjek-subjek, subjek-objek, objek-subjek atau objek-objek. Bentuk vitalitas tersebut memiliki makna kesadaran dan perubahan ke dalam, paralel atau keluar dari diri potensi. Salah satu sifat vitalitas adalah sifat relational dan sifat penunjukkan kepada subjek atau objek di dalam, paralel atau diluar dirinya. Dengan begitu, terbentuklah suatu relasi yang bersifat fungsional diantara subjek-subjek atau objek-objek.
Dimensi dalam komunikasi ditentukan oleh adanya sifat apakah sifat dari subjek atau objeknya memunyai sifat dengan arah ke dalam, arah paralel, atau arah ke luar. Selan itu, dimensi komunikasi juga ditentukan oleh banyaknya satuan potensi matematika yang terlibat pada ragam vitalitas yang diakibatkan. Dimensi komunikasi matematika secara harfiah memberikan makna adanya komunikasi material matematika, komunikasi formal matematika, dan komunikasi normatif matematika. Berikut ini adalah diagram yang menunjukkan pemetaan dari komunikasi matematika yang dikemukakan oleh Immanuel Kant (1724).
 Gambar 1. Diagram Teori Pengetahuan Immanuel Kant
Berdasarkan Teori Pengetahuan Immanuel Kant, dapat dilihat bahwa terdapat a priori dan a posteori. Kant membagi pengetahuan berdasarkan sesuatu pernyataan yang bersifat analitik, dengan predikat dari subjek termuat dalam subjek. Kemudian untuk sesuatu pernyataan yang bersifat tidak analitik adalah jika pernyataan tersebut menambahkan sesuatu yang baru tentang subjek. Pernyataan tersebut kemudian disebut tidak murni dan disebut sebagai pernyataan sintetik. Suatu pernyataan disebut benar secara a priori, dengan kebenarannya ditentukan sebelum pengalaman atau tanpa referensi pada pengalaman. Suatu pernyataan disebut benar secara a posteriori, dengan pernyataan tersebut ditentukan kebenarannya melalui referensi pada pengalaman. Artinya kebenarannya hanya dapat ditentukan melalui acuan bukti empiris. Seluruh pernyataan analitik bersifat a priori dengan alasan, bahwa kebenaran logika pernyataan tersebut terlepas dari pengalaman yang kita alami. Pernyataan ini tidak membutuhkan bukti empris untuk penilaian kebenarannya. Seluruh pernyataan a posteriori dengan sendirinya pasti bersifat sintetik, karena terdapat informasi tambahan pada subjek yang didapatkan melalui pengalaman belajar yang bisa didapatkan siswa secara penanaman konsep. Dengan begitu, karakter siswa akan muncul dan dapat ditingkatkan.

8.       HERMENITIKA SEBAGAI METODE KOMUNIKASI PENDIDIKAN MATEMATIKA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Menurut Gadamer, manusia adalah makhluk yang tidak dapat lepas dari bahasa. Bahasa dapat membuat dunia ini terbuka. Belajar untuk mengetahui dunia membutuhkan belajar untuk menguasai Bahasa terlebih dahulu. Oleh karena itu, untuk dapat memahami diri, seseorang harus memahami diri sebagai bagian dari budaya dan bahasa dalam dimensi ruang dan waktu yang menyejarah.
Menurut Deetz (1976) dalam Kolokuium Komunikasi Verbal di Florida, Juli 1976, Deetz menekankan hal berikut :
“Namun, ketika konsep-konsep ini diajarkan dan membuat jalan mereka ke dalam bahasa sehari-hari, mereka sering dipahami sebagai mewakili hal daripada pengalaman dan proses. “Diri”, “sikap”, “norma”, “budaya”, dan sebagainya adalah contoh konsep yang menderita dari reifikasi ini. Penjelasan menggunakan konsep-konsep ini dalam dipahami sebagai satu hal yang menyebabkan cara lain daripada memilih cara menyusun pengalaman pada kontinuitas. Dengan demikian pengalaman itu dijelaskan dalam abstraksi daripada dibawa ke pemahaman yang lebih jelas. Misalnya, apa artinya mengatakan bahwa masalah komunikasi adalah akibat dari perbedaan budaya? Dan bagaimana hal itu menggerakkan kita untuk memecahkan masalah? Konsep tidak perlu dilihat sebagai alat klasifikasi (dalam arti kategorikal) tetapi dapat dilihat sebagai pengalaman pembuka dalam pengertian interpretatif.”
Pemahaman akan realitas sejati dan pemahaman akan diri secara terus-menerus berproses dalam apa yang dinamakan “Hermeneutic Cycle”. Hal ini artinya teks (realitas) terus berputar dan tidak pernah selesai.

Gambar 2. Hermeneutic Cycle
Filsafat hermenutika memiliki relasi dengan komunikasi yang bisa digunakan dalam aksiologis pendidikan matematika untuk meningkatkan pendidikan karakter. Hal ini sesuai dengan pendapat Deetz yang menyebutkan bahwa hermeneutika sangat menarik untuk para pakar komunikasi Amerika. Hal ini dikarenakan untuk memahami konsep yang diajarkan dalam pendidikan matematika, diperlukan tindakan instrumental agar dapat mencapai tujuan tersebut.
Selain itu dalam bidang pendidikan, Hermeneutika dapat berupa studi pemahaman dengan mengintepretasikan tindakan dan teks. Sehingga terdapat adanya cycle kehidupan. Dari teks diimpretasikan tanpa dibatasi hingga menjadi impretasi teks yang lainnya. Dalam hermeneutika kehidupan, terdapat beberapa cycle seperti dari positivisme, menjadi pancasila kemudian mengalami disorientasi. Hal tersebut berdasarkan modern a compte Indonesia dan pada masa kontemporer. Seperti filsafat yang menjadi ideologi kemudian menjadi matematika dan kemudian pendidikan matematika dengan aksiologisnya untuk pendidikan karakter.
Gambar 3. Struktur Hermeneutic Cycle Mendekati Limit
Pada Gambar 3, dapat diperhatikan bahwa hermeneutik dapat dibatasi oleh teks atau oleh bukti empiris atau oleh hal yang lainnya. Sehingga terdapat kemungkinan bahwa siklus hermeneutic bukan hanya bisa mempersempit spiral yang di luar kendali, tetapi limi dari spiral apakah akan tercapai atau tidak. Hal ini adalah prinsip dari objektivitas dan realitas. Seperti dalam mekanika kuantum dimana akan ada kisaran yang lebih besar atau lebih kecil dari ketidakpastian. Limit hanyalah kisaran dan bukanlah sebuah kemungkinan tak terhingga atau tak terbatas.

9.       KESIMPULAN
Pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan secara terencana dan bukan hanya untuk mengenal melalui pembelajaran kognitif saja, tetapi memerlukan adanya internalisasi nilai-nilai dan memerlukan kepedulian. Nilai-nilai dalam pendidikan karakter meliputi pada ranah kognitif dan psikomotoris. Nilai-nilai yang perlu dihayati dan diamalkan saat pembelajaran di sekolah berlangsung adalah religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kerja cerdas, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca, peduli sosial, peduli lingkungan, dan tanggung jawab.
Nilai-nilai dalam matematika seperti nilai praktis dan nilai guna; nilai kedisiplinan; nilai budaya; nilai rekreasi; nilai estetika; dan nilai demokrasi dapat didapatkan melalui strategi pembelajaran sehingga siswa mampu mendapatkan pendidikan karakter yang baik. Siswa mendapatkan kesempatan untuk berpendapat dalam mengajukan pertanyaan atau menyimpulkan penemuan yang didapatkan sehingga didapatkan nilai demokrasi. Melalui nilai tersebut siswa dapat memahami konsep juga sehingga didapatkan nilai praktis dan nilai guna.
Siswa berbeda antara satu dengan lainnya dalam penguasaan matematika. Siswa dianggap mempunyai kesiapan mental dan kemampuan yang berbeda-beda dalam mempelajari matematika. Setiap individu memerlukan kesempatan, perlakuan, dan fasilitas yang berbeda-beda dalam mempelajari matematika. Oleh karena itu, matematika memiliki banyak tuntutan untuk mempelajarinya. Hal tersebut terasa tidak mungkin untuk dilakukan tanpa adanya penyampaian matematika yang baik dalam pembelajaran. Matematika harus disampaikan tidak hanya berdasarkan materinya saja, tetapi nilai-nilai matematika juga harus disampaikan dengan baik.

10.    REFERENSI
Azhari, F. F. (2018). Nak-Nak 06 Sebuah aksi, refleksi, dan filosofi. Bogor: Guepedia.
Berkowitz, M. W. (2012). Moral and character education. Individual differences and cultural and contextual factors. Washington, DC: American Psychological Association.
Berkowitz, M. W., Althof, W., & Bier, M. C. (2012). The practice of pro-social education. The handbook of prosocial education. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
Deetz, S. (1976). “Gadamer’s Hermeneutics and American Communication Studies”. paper presented at the Annual International Colloquium on Verbal Communication.
Dewi, H. L., & Hasanah, A. (2017). Penerapan Pembelajaran Nilai-Nilai Yang Terintegrasi Pada Materi Matematika SMA Kelas XI. Seminar Matematika Dan Pendidikan Matematika UNY
Ernest, P. (1994). Mathematics, Education and Philosophy: An International Perspective. The Falmer Press: London.
Haryanto. (2011) Pendidikan Karakter Menurut Ki Hadjar Dewantara. Cakrawala Pendidikan. XXX. 17.
Jirzanah. (2008). Aktualisasi Pemahaman Nilai Menurut Max Scheler Bagi Masa depan Bangsa Indonesia. Jurnal Filsafat Wisdom, XVIII(1). 109. https://doi.org/10. 22146/jf.3519
Kemendikbud. (2013). Modul Kurikulum 2013. Jakarta: Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan.
Ki Hadjar Dewantara. (1977). Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Latif, M. (2014). Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenadamedia Group.
Lewis, G., & Forsythe, S. (Juli 2018). Factors for and against choosing mathematics study post-16. Mathematics Teaching, 262. 11-13. Retrieved from https://www.atm.org. uk/Mathematics-Teaching-Journal-Archive/143143
Marsigit. (2011). Pengembangan Nilai-nilai Matematika dan Pendidikan Matematika sebagai Pilar Pembangunan Karakter Bangsa. Seminar Nasional Nilai-nilai dan Aplikasi dalam Dunia Matematika sebagai Pilar Pembangunan Karakter Bangsa UNNES
Marsigit. (2011). Pengembangan Karakter dalam Pendidikan Matematika. Pendidikan Karakter dalam Perspektif dan Teori. Yogyakarta: UNY Press
Prabowo, A., & Pramono, S. (2010). Memahat Karakter Melalui Pembelajaran Matematika. Proceedings of the 4th International Conference on Teacher Education
Putra, R. M. S. (2010).Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi. ULTIMA Comm,2(2). 73. https://doi.org/10.31937/ultimacomm.v4i1.431
Soeprapto, S. (2013). Landasan Aksiologis Sistem Pendidikan Nasional Indonesia dalam Perspektif Filsafat Pendidikan. Cakrawala Pendidikan, 2(1). 267. https://doi.org/ 10.21831/cp.v0i2.1485
Surakhmad, W. (2009). Pendidikan Nasional, Strategi, dan Tragedy Jakarta: Kompas
Susanto, H. A., (2012). Nilai Matematika dan Pendidikan Matematika dalam Pembentukan Kepribadian. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 19(1). 116. Retrieved from http://journal.um.ac.id/index.php/pendidikan-dan-pembelajaran/ article/view/3205
Swadener, M., & Soedjadi, R. (1988). Values, Mathematics Education, and The Task of Devel-oping Pupil’s Personalities: an Indonesian Perspective. Educational Studies in Mathematics, 19. 193. https://doi.org/10.1007/978-94-017-2209-4_5
Toptaşa, V., & Gözelb, E. (2018). Investigation of the Metaphorical Perceptions of the Parents on the Concept of “Mathematics”. International Electronic Journal of Elementary Education, 10(5). 621. https://doi.org/10.26822/iejee. 2018541311

No comments:

Post a Comment

Mari berkomentar...