Aksiologis Pendidikan Matematika
untuk Meningkatkan Pendidikan Karakter
Oleh : Rindang Maaris Aadzaar dan
Marsigit
1.
PENDAHULUAN
Karakter selalu erat
hubungannya dengan suatu bangsa, keunggulan suatu bangsa, keunggulan atas
bangsa lain, dan pembeda unik yang dimiliki setiap bangsa. Setiap bangsa pasti
memiliki karakternya sehingga memiliki identitas sebagai suatu bangsa yang
luhur. Hal ini berdampak pada pendidikannya dimana pendidikan yang ada pada
sebuah bangsa juga harus menanamkan karakter kepada masyarakatnya. Menurut
Dujmeransyah, pendidikan adalah kegiatan untuk memberikan pengetahuan agar
kebudayaan dapat terus diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya. Dengan
begitu, karakter bangsa tidak akan hilang termakan perkembangan zaman.
Dalam pendidikan
matematika, landasan filosofis dirasa sangatlah penting. Landasan filosofis tersebut
adalah landasan aksiologis dimana merupakan landasan yang memusatkan pada
hakikat, makna, dan peran nilai dalam kehidupan. Hal ini dirasa penting
terutama untuk diterapkan di Indonesia karena pendidikan yang ada sebelumnya
cenderung mengorbankan nilai kehidupan yang manusiawi. Pendidikan seharusnya
lebih memanusiakan manusia sehingga secara konstitusional, manusia dididik
seutuhnya dalam rangka pencerdasan kehidupan bangsa.
Anggapan matematika dalam
pendidikan selalu merupakan mata pelajaran yang sulit, membosankan dan melelahkan.
Hal ini dikarenakan matematika dirasa merupakan mata pelajaran yang penuh
dengan simbol dan disajikan secara abstrak. Untuk mempelajari matematika,
penggunaannya harus dimaknai untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Peran guru disini sangat penting dan guru harus mengajarkan bagaimana siswa
dapat mendapatkan pengetahuan dengan menanamkan konsep matematika. Hal tersebut
sangat penting karena matematika memang harus diajarkan sejak sekolah dasar sehingga
siswa tumbuh sebagai individu yang dapat menggunakan matematika pada masa mendatang
dan untuk jenjang yang lebih tinggi lagi.
Berdasarkan landasan
aksiologi dalam pendidikan matematika, matematika tidak hanya bersifat formal,
nilai yang terkandung di dalam matematika dan tujuan dalam mempelajari
matematika juga harus dipikirkan. Penerapan pendidikan matematika dalam
kehidupan sehari-hari harus benar-benar diperhatikan. Nilai dapat dipandang berdasarkan
konsep tentang segala sesuatu yang dirasa penting dalam kehidupan dan suatu
kebersihan pemikiran. Dengan begitu, nilai berada dalam diri dan hati manusia
yang terdiri dari ide dan gagasan tentang hal tersebut.
Berdasarkan pemaparan
yang ada di atas, makalah ini akan mengulas lebih lanjut mengenai penerapan matematika
dalam kehidupan sehari-hari untuk menanamkan pendidikan karakter. Dengan kata
lain, makalah ini akan membahas aksiologis pendidikan matematika untuk
meningkatkan pendidikan karakter.
2.
AKSIOLOGIS
Aksiologi secara
etimologi berasal dari kata axia
(nilai, value bahasa Inggris), dan logos (perkataan, pikiran, ilmu).
Aksiologi berarti ilmu pengetahuan yang menyelidiki hekikat nilai dan pada
umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Menurut Bakker dan
Kattsoff, satu hal yang sangat penting bahwa makna hakiki nilai dalam
perspektif aksiologis akan berlaku bagi segala sesuatu yang ada (pengada). Pengada,
dalam konsep Bakker, meliputi segala yang ada baik benda mati maupun benda
hidup, dari taraf yang paling tinggi, bahkan Tuhan pun bisa disebut pengada.
Aksiologis adalah dasar
ilmu pengetahuan tentang nilai dari kegunaan ilmu. Aksiologi merupakan teori
tentang nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi
terbagi dalam tiga bagian, yaitu moral
conduct, esthetic expression, dan
sosio-political life. Moral conduct adalah tindakan moral yang
melahirkan disiplin khusus berupa etika. Esthetic
expression adalah ekspresi keindahan dimana melahirkan keindahan. Sosio-political life adalah kehidupan sosial
politik dimana melahirkan filsafat sosiopolitik.
Masalah utama dalam
aksiologi yaitu mengenai nilai teori tentang nilai dalam filsafat yang mengacu
pada permasalahan etika dan estetika. Etika menilai perbuatan manusia. Estetika
berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh menusia
terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Solusi bagi ilmu yang
terikat dengan nilai-nilai dimana harus ada transendensi bahwa ilmu pengetahuan
terbuka pada konteksnya dan agamalah yang menjadi konteks itu. Agama
mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya dengan memahami realitas
alam dan memahami eksistensi Allah agar manusia sadar akan hakikat penciptaan
dirinya. Sehingga tidak mengarahkan ilmu pengetahuan tidak hanya bertumpu pada
material duniawi. Hal tersebut harus berpijak pada nilai moral agama. Ilmu
pengetahuan itu bebas nilai dan nilai agama harus menjadi nilainya.
Terdapat dua pandangan
yang berlaku berkenaan dengan ilmu dalam perspektif nilai moral. Pandangan
pertama adalah ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara
ontologis maupun aksiologis. Pandangan kedua adalah netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan. Dalam penggunaannya,
metafisik keilmuan harus berdasarkan nilai-nilai moral. Dari dua pandangan
tersebut, terlihat netralitas ilmu terletak pada epistemologinya saja yang
artinya tanpa berpihak kepada siapa pun selain kepada kebenaran yang nyata. Secara
ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan mana
yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai
landasan etika moral dan estetika yang kuat.
3.
AKSIOLOGIS
DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA
Ditinjau melalui aspek
aksiologi, maternatika seperti ilmu-ilmu yang lain. Matematika ikut memberikan
kontribusi perubahan bagi kehidupan umat manusia. Segala ilmu di dunia ini
tidak bisa lepas dari pengaruh maternatika. Selain itu, matematika juga
dipandang sebagai ilmu abstrak yang tidak bebas nilai dan moral. Hal tersebut
membuat hasil pemikiran seorang matematikawan bisa bermanfaat bagi masyarakat
karena segala sesuatu yang dihasilkan dipikirkan secara mendalam dan teliti
sehingga hasilnya diakui.
Matematika juga memiliki
manfaat untuk ilmu pengetahuan yang lain dan untuk kehidupan masyarakat.
Matematika bisa digunakan untuk membantu manusia dalam berdagang dan bidang
perekonomian yang lainnya. Dengan menggunakan matematika, manusia juga dapat
berpikir secara matematis dan logis. Selain itu, matematika dapat melatih cara berfikir
dan benalar dalam menarik kesimpulan. Contohnya adalah untuk kegiatan
penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukan kesamaan, perbedaan, konsisten
dan inkonistensi hingga mengembangkan kemampuan dan menyampaikan informasi atau
mengomunikasikan gagasan melalui lisan, catatan, grafik, dan peta.
Aksiologi dalam
pendidikan matematika juga memilihi peran yang penting karena pendidikan
matematika memiliki manfaat yang sangat besar untuk siswa. Matematika memang
selalu terkenal sebagai pelajaran yang menjadi “momok” bagi siswa. Walaupun
demikian, matematika tidak bisa dihindari dan harus tetap dipelajari dalam
dunia pendidikan karena matematika merupakan akar dari berbagai macam ilmu
pengetahuan. Salah satu manfaat yang bisa didapatkan dari pendidikan matematika
adalah siswa juga dapat membentuk karakternya melalui aksiologis alam
pendidikan matematika.
4.
LANDASAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA
Landasan atau dasar dari
pendidikan matematika menurut Paul Ernest (1994) adalah sebagai berikut:
"Apa
dasar dari pendidikan matematika sebagai bidang pengetahuan? Apakah pendidikan
matematika suatu disiplin, bidang penyelidikan, bidang interdisipliner, domain
aplikasi ekstra-disiplin, atau apa? Apa hubungannya dengan disiplin ilmu lain
seperti filsafat, sosiologi, psikologi, linguistik, dll? Bagaimana kita bisa
tahu dalam pendidikan matematika? Apa dasar untuk klaim pengetahuan dalam
penelitian dalam pendidikan matematika? Metode dan metodologi penelitian apa
yang digunakan dan apa dasar dan status filosofis mereka? apakah komunitas
riset pendidikan matematika menilai klaim pengetahuan? Standar apa yang
diterapkan? Apa peran dan fungsi peneliti dalam pendidikan matematika?
Bagaimana status teori dalam pendidikan matematika? Apakah kita memiliki disiplin
dan konsep yang sesuai dari disiplin ilmu lain atau berkembang? kita sendiri?
Bagaimana perkembangan modern dalam filsafat (post-strukturalisme,
post-modernisme, Hermeneutika, semiotika, dll.) berdampak pada matematika
pendidikan ematik? Apa dampak penelitian dalam pendidikan matematika pada
disiplin ilmu lain? Dapatkah filosofi pendidikan matematika berdampak pada
pengajaran dan pembelajaran matematika, penelitian dalam pendidikan matematika,
atau pada disiplin ilmu lain?"
Pertanyaan-pertanyaan
dapat muncul sebagai dasar dari matematika yaitu, epistemologi dan aksiologi. Hal
tersebut bisa berupa studi tentang dasar ontologis pendidikan matematika, dasar
epistemologis pendidikan matematika dan dasar aksiologis pendidikan matematika.
5.
PENDIDIKAN
KARAKTER
Pendidikan karakter
adalah upaya yang dilakukan secara terencana dan bukan hanya untuk mengenal
melalui pembelajaran kognitif saja, tetapi memerlukan adanya internalisasi
nilai-nilai dan memerlukan kepedulian. Nilai-nilai dalam pendidikan karakter
meliputi pada ranah kognitif dan psikomotoris. Tujuan dari pendidikan nilai
tidak hanya untuk memiliki pengetahuan tentang nilai saja, tetapi juga untuk
menumbuhkan rasa simpati dan empati. Oleh karena itu, waktu yang diperlukan
tidak singkat agar dapat tertanam dengan baik dan siswa dapat memiliki budi
pekerti yang luhur. Nilai-nilai yang perlu dihayati dan diamalkan saat pembelajaran
di sekolah berlangsung adalah religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kerja
cerdas, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai,
senang membaca, peduli sosial, peduli lingkungan, dan tanggung jawab.
Ki Hadjar Dewantara dalam
masalah pendidikan karakter berpendapat bahwa untuk mengasah kecerdasan budi
sungguh baik karena dapat membangun budipekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat
mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid)
dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Dengan begitu, seseorang akan
senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli (bengis,
murka, pemarah, kikir, keras, dan lain-lain) (Ki Hadjar Dewantara, 1977: 24). Orang
yang memiliki kecerdasan budipekerti akan senantiasa memikir-mikirkan dan
merasa-rasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang
pasti dan tetap. Oleh karena itu seseorang dapat kita kenal wataknya dengan
pasti, yaitu karena watak atau budipekerti itu memang bersifat tetap dan pasti.
Program untuk
meningkatkan pendidikan karakter berusaha untuk mengungkapkan variabilitas
substansial. Pada perkembangan moral yang dianggap sebagai elemen yang penting,
pendidikan karakter disebut sebagai program sekolah untuk meningkatkan
karakteristik psikologis yang mampu memotivasi dan memungkinkan siswa bertindak
secara etis, demokratis, sosial efektif, dan produktif. Program pendidikan
karakter yang disarankan oleh Berkowitz et al. (2012) ditandai dengan lokasi
pelaksanaannya di sekolah, pembinaan karakteristik psikologis tertentu, dan
fokus pada karakteristik untuk meningkatkan fungsi etis dan sosial.
6.
NILAI-NILAI
MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
Nilai adalah suatu hal
yang sulit didefinisikan dengan jelas. Nilai moral merupakan konsep tentang
standar perbuatan dan sikap yang menentukan kualitas diri. Hal tersebut bisa
seperti siapa diri kita, bagaimana kita hidup dan bagaimana kita memperlakukan
orang lain. Menurut Susanto (2012), nilai moral dapat dibedakan menjadi dua yaitu
nilai-nilai nurani (values of being)
dan nilai-nilai memberi (values of giving).
Nilai-nilai nurani (values of being)
adalah nilai-nilai yang meliputi kejujuran, keberanian, cinta damai, keyakinan
diri, disiplin diri, dan kesucian hati. Nilai-nilai memberi (values of giving) adalah nilai-nilai
yang meliputi kesetiaan, penghormatan, kasih sayang, tidak egois, ramah dan
bersikap adil.
Fraenkel (1977) mendefinisikan
nilai sebagai berikut.
“A
value is an idea – a concept – about someone thinks is important in life”
“Values
are ideas about the worth of thinking, they are concepts, abstractions”.
Sehingga nilai dapat dipandang sebagai suatu
konsep tentang segala sesuatu yang penting dalam kehidupan. Selain itu, nilai juga
merupakan suatu kebersihan pemikiran. Nilai berada dalam diri sanubari setiap
manusia yang berisikan ide, gagasan tentang kebersihan pemikiran yang penting
dalam kehidupannya.
Swadener dan Soedjadi
(1988) berpendapat bahwa nilai dapat dikategorikan menjadi nilai estetis (esthetic values) dan nilai etis (ethical values). Nilai estetis berkaitan
dengan obyek-obyek keindahan. Nilai etis berkaitan dengan obyek yang dapat
dinilai sebagai baik atau jelek yang berkaitan dengan perilaku. Nilai dapat
diturunkan menjadi nilai budaya (cultural
values), nilai praktis (practical
values), nilai pendidikan (educational
values) dan nilai sejarah (historical
values). Nilai dapat merupakan nilai yang bersifat baik-buruk dan berkaitan
dengan keindahan serta dapat diturunkan menjadi nilai budaya, nilai praktis, nilai
pendidikan dan nilai sejarah. Hal tersebut mengacu pada pembelajaran matematika
yang harus memperhatikan terwujudnya nilai praktis dan nilai guna. Sehingga
pentingnya penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari benar-benar
dijelaskan secara eksplisit dan secara implisit dalam setiap pembelajaran
kepada siswa.
Menurut Marsigit (2011), pendidikan
karakter dalam pendidikan matematika di sekolah dapat diawali dengan
mendefinisikan hakekat matematika sekolah. Ebbutt, S dan Straker, A., (1995)
berpedapat bahwa matematika sekolah adalah kegiatan untuk melakukan penelusuran
pola dan hubungan; kegiatan yang memerlukan kreativitas, imajinasi, intuisi,
dan penemuan; kegiatan yang memerlukan komunikasi; kegiatan pemecahan masalah;
kegiatan untuk memperoleh jawaban-jawaban persoalan matematika dengan
algoritma; dan kegiatan yang memerlukan interaksi sosial. Pendidikan matematika
untuk meningkatkan pendidikan karakter di sekolah dapat menekankan kepada
hubungan antar manusia dalam dimensinya dan menghargai adanya perbedaan
individu baik dalam kemampuan maupun pangalamannya.
Matematika dipandang
sebagai kebenaran yang absolut dan pasti, tetapi peran individu sangat menonjol
dalam pencapaiannya. Siswa dapat dipandang sebagai makhluk yang berkembang (progress). Matematika dipandang secara
lebih manusiawi antara lain dapat dianggap sebagai Bahasa dan kreativitas
manusia. Adanya pendapat pribadi sangat dihargai dan ditekankan sehingga siswa
mempunyai hak individu untuk melindungi dan mengembangkan diri melalui
pengalamannya yang sesuai dengan potensinya. Kemampuan dari mengerjakan soal-soal
matematika bersifat individu.
Siswa berbeda antara satu
dengan lainnya dalam penguasaan matematika. Siswa dianggap mempunyai kesiapan
mental dan kemampuan yang berbeda-beda dalam mempelajari matematika. Setiap
individu memerlukan kesempatan, perlakuan, dan fasilitas yang berbeda-beda
dalam mempelajari matematika. Oleh karena itu, matematika memiliki banyak
tuntutan untuk mempelajarinya. Hal tersebut terasa tidak mungkin untuk
dilakukan tanpa adanya penyampaian matematika yang baik dalam pembelajaran.
Matematika harus disampaikan tidak hanya berdasarkan materinya saja, tetapi
nilai-nilai matematika juga harus disampaikan dengan baik.
7.
HERMENITIKA
AKSIOLOGIS PENDIDIKAN MATEMATIKA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Menurut
Marsigit (2011), unsur dasar hermenitika pendidikan matematika dalam pendidikan
karakter adalah suatu kegiatan untuk mengomunikasikan matematika pada berbagai
dimensi. Komunikasi tersebut sebagai bentuk vitalitas potensi-potensi
relational antara subjek-subjek, subjek-objek, objek-subjek atau objek-objek.
Bentuk vitalitas tersebut memiliki makna kesadaran dan perubahan ke dalam,
paralel atau keluar dari diri potensi. Salah satu sifat vitalitas adalah sifat
relational dan sifat penunjukkan kepada subjek atau objek di dalam, paralel
atau diluar dirinya. Dengan begitu, terbentuklah suatu relasi yang bersifat
fungsional diantara subjek-subjek atau objek-objek.
Dimensi
dalam komunikasi ditentukan oleh adanya sifat apakah sifat dari subjek atau
objeknya memunyai sifat dengan arah ke dalam, arah paralel, atau arah ke luar. Selan
itu, dimensi komunikasi juga ditentukan oleh banyaknya satuan potensi
matematika yang terlibat pada ragam vitalitas yang diakibatkan. Dimensi
komunikasi matematika secara harfiah memberikan makna adanya komunikasi
material matematika, komunikasi formal matematika, dan komunikasi normatif
matematika. Berikut ini adalah diagram yang menunjukkan pemetaan dari komunikasi
matematika yang dikemukakan oleh Immanuel Kant (1724).
Gambar
1. Diagram Teori Pengetahuan Immanuel Kant
Berdasarkan Teori
Pengetahuan Immanuel Kant, dapat dilihat bahwa terdapat a priori dan a posteori.
Kant membagi pengetahuan berdasarkan sesuatu pernyataan yang bersifat analitik,
dengan predikat dari subjek termuat dalam subjek. Kemudian untuk sesuatu
pernyataan yang bersifat tidak analitik adalah jika pernyataan tersebut
menambahkan sesuatu yang baru tentang subjek. Pernyataan tersebut kemudian
disebut tidak murni dan disebut sebagai pernyataan sintetik. Suatu pernyataan
disebut benar secara a priori, dengan
kebenarannya ditentukan sebelum pengalaman atau tanpa referensi pada
pengalaman. Suatu pernyataan disebut benar secara a posteriori, dengan pernyataan tersebut ditentukan kebenarannya
melalui referensi pada pengalaman. Artinya kebenarannya hanya dapat ditentukan
melalui acuan bukti empiris. Seluruh pernyataan analitik bersifat a priori dengan alasan, bahwa kebenaran
logika pernyataan tersebut terlepas dari pengalaman yang kita alami. Pernyataan
ini tidak membutuhkan bukti empris untuk penilaian kebenarannya. Seluruh
pernyataan a posteriori dengan
sendirinya pasti bersifat sintetik, karena terdapat informasi tambahan pada
subjek yang didapatkan melalui pengalaman belajar yang bisa didapatkan siswa
secara penanaman konsep. Dengan begitu, karakter siswa akan muncul dan dapat
ditingkatkan.
8.
HERMENITIKA
SEBAGAI METODE KOMUNIKASI PENDIDIKAN MATEMATIKA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Menurut Gadamer, manusia
adalah makhluk yang tidak dapat lepas dari bahasa. Bahasa dapat membuat dunia
ini terbuka. Belajar untuk mengetahui dunia membutuhkan belajar untuk menguasai
Bahasa terlebih dahulu. Oleh karena itu, untuk dapat memahami diri, seseorang
harus memahami diri sebagai bagian dari budaya dan bahasa dalam dimensi ruang dan
waktu yang menyejarah.
Menurut Deetz (1976)
dalam Kolokuium Komunikasi Verbal di Florida, Juli 1976, Deetz menekankan hal
berikut :
“Namun,
ketika konsep-konsep ini diajarkan dan membuat jalan mereka ke dalam bahasa
sehari-hari, mereka sering dipahami sebagai mewakili hal daripada pengalaman
dan proses. “Diri”, “sikap”, “norma”, “budaya”, dan sebagainya adalah contoh
konsep yang menderita dari reifikasi ini. Penjelasan menggunakan konsep-konsep
ini dalam dipahami sebagai satu hal yang menyebabkan cara lain daripada memilih
cara menyusun pengalaman pada kontinuitas. Dengan demikian pengalaman itu
dijelaskan dalam abstraksi daripada dibawa ke pemahaman yang lebih jelas.
Misalnya, apa artinya mengatakan bahwa masalah komunikasi adalah akibat dari
perbedaan budaya? Dan bagaimana hal itu menggerakkan kita untuk memecahkan
masalah? Konsep tidak perlu dilihat sebagai alat klasifikasi (dalam arti
kategorikal) tetapi dapat dilihat sebagai pengalaman pembuka dalam pengertian
interpretatif.”
Pemahaman akan realitas
sejati dan pemahaman akan diri secara terus-menerus berproses dalam apa yang
dinamakan “Hermeneutic Cycle”. Hal
ini artinya teks (realitas) terus berputar dan tidak pernah selesai.
Gambar
2. Hermeneutic Cycle
Filsafat hermenutika memiliki
relasi dengan komunikasi yang bisa digunakan dalam aksiologis pendidikan
matematika untuk meningkatkan pendidikan karakter. Hal ini sesuai dengan
pendapat Deetz yang menyebutkan bahwa hermeneutika sangat menarik untuk para
pakar komunikasi Amerika. Hal ini dikarenakan untuk memahami konsep yang
diajarkan dalam pendidikan matematika, diperlukan tindakan instrumental agar
dapat mencapai tujuan tersebut.
Selain itu dalam bidang
pendidikan, Hermeneutika dapat berupa studi pemahaman dengan mengintepretasikan
tindakan dan teks. Sehingga terdapat adanya cycle kehidupan. Dari teks
diimpretasikan tanpa dibatasi hingga menjadi impretasi teks yang lainnya. Dalam
hermeneutika kehidupan, terdapat beberapa cycle seperti dari
positivisme, menjadi pancasila kemudian mengalami disorientasi. Hal tersebut
berdasarkan modern a compte Indonesia dan pada masa kontemporer. Seperti
filsafat yang menjadi ideologi kemudian menjadi matematika dan kemudian
pendidikan matematika dengan aksiologisnya untuk pendidikan karakter.
Gambar
3. Struktur Hermeneutic Cycle Mendekati Limit
Pada Gambar 3, dapat
diperhatikan bahwa hermeneutik dapat dibatasi oleh teks atau oleh bukti empiris
atau oleh hal yang lainnya. Sehingga terdapat kemungkinan bahwa siklus hermeneutic
bukan hanya bisa mempersempit spiral yang di luar kendali, tetapi limi dari
spiral apakah akan tercapai atau tidak. Hal ini adalah prinsip dari
objektivitas dan realitas. Seperti dalam mekanika kuantum dimana akan ada
kisaran yang lebih besar atau lebih kecil dari ketidakpastian. Limit hanyalah kisaran
dan bukanlah sebuah kemungkinan tak terhingga atau tak terbatas.
9.
KESIMPULAN
Pendidikan karakter
adalah upaya yang dilakukan secara terencana dan bukan hanya untuk mengenal
melalui pembelajaran kognitif saja, tetapi memerlukan adanya internalisasi
nilai-nilai dan memerlukan kepedulian. Nilai-nilai dalam pendidikan karakter
meliputi pada ranah kognitif dan psikomotoris. Nilai-nilai yang perlu dihayati
dan diamalkan saat pembelajaran di sekolah berlangsung adalah religius, jujur,
toleran, disiplin, kerja keras, kerja cerdas, kreatif, mandiri, demokratis, rasa
ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca, peduli sosial, peduli
lingkungan, dan tanggung jawab.
Nilai-nilai dalam
matematika seperti nilai praktis dan nilai guna; nilai kedisiplinan; nilai
budaya; nilai rekreasi; nilai estetika; dan nilai demokrasi dapat didapatkan
melalui strategi pembelajaran sehingga siswa mampu mendapatkan pendidikan
karakter yang baik. Siswa mendapatkan kesempatan untuk berpendapat dalam
mengajukan pertanyaan atau menyimpulkan penemuan yang didapatkan sehingga
didapatkan nilai demokrasi. Melalui nilai tersebut siswa dapat memahami konsep
juga sehingga didapatkan nilai praktis dan nilai guna.
Siswa berbeda antara satu
dengan lainnya dalam penguasaan matematika. Siswa dianggap mempunyai kesiapan
mental dan kemampuan yang berbeda-beda dalam mempelajari matematika. Setiap
individu memerlukan kesempatan, perlakuan, dan fasilitas yang berbeda-beda
dalam mempelajari matematika. Oleh karena itu, matematika memiliki banyak
tuntutan untuk mempelajarinya. Hal tersebut terasa tidak mungkin untuk
dilakukan tanpa adanya penyampaian matematika yang baik dalam pembelajaran.
Matematika harus disampaikan tidak hanya berdasarkan materinya saja, tetapi
nilai-nilai matematika juga harus disampaikan dengan baik.
10.
REFERENSI
Azhari,
F. F. (2018). Nak-Nak 06 Sebuah aksi, refleksi, dan filosofi. Bogor: Guepedia.
Berkowitz,
M. W. (2012). Moral and character education. Individual differences and cultural and contextual factors. Washington,
DC: American Psychological Association.
Berkowitz,
M. W., Althof, W., & Bier, M. C. (2012). The practice of pro-social
education. The handbook of prosocial
education. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
Deetz,
S. (1976). “Gadamer’s Hermeneutics and American Communication Studies”. paper
presented at the Annual International
Colloquium on Verbal Communication.
Dewi,
H. L., & Hasanah, A. (2017). Penerapan Pembelajaran Nilai-Nilai Yang
Terintegrasi Pada Materi Matematika SMA Kelas XI. Seminar Matematika Dan Pendidikan Matematika UNY
Ernest,
P. (1994). Mathematics, Education and Philosophy: An International Perspective.
The Falmer Press: London.
Haryanto.
(2011) Pendidikan Karakter Menurut Ki Hadjar Dewantara. Cakrawala Pendidikan. XXX. 17.
Jirzanah.
(2008). Aktualisasi Pemahaman Nilai Menurut Max Scheler Bagi Masa depan Bangsa
Indonesia. Jurnal Filsafat Wisdom,
XVIII(1). 109. https://doi.org/10. 22146/jf.3519
Kemendikbud.
(2013). Modul Kurikulum 2013. Jakarta: Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan.
Ki
Hadjar Dewantara. (1977). Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Latif,
M. (2014). Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenadamedia
Group.
Lewis,
G., & Forsythe, S. (Juli 2018). Factors for and against choosing
mathematics study post-16. Mathematics
Teaching, 262. 11-13. Retrieved from https://www.atm.org. uk/Mathematics-Teaching-Journal-Archive/143143
Marsigit.
(2011). Pengembangan Nilai-nilai Matematika dan Pendidikan Matematika sebagai
Pilar Pembangunan Karakter Bangsa. Seminar
Nasional Nilai-nilai dan Aplikasi dalam Dunia Matematika sebagai Pilar
Pembangunan Karakter Bangsa UNNES
Marsigit. (2011). Pengembangan
Karakter dalam Pendidikan Matematika. Pendidikan
Karakter dalam Perspektif dan Teori. Yogyakarta: UNY Press
Prabowo,
A., & Pramono, S. (2010). Memahat Karakter Melalui Pembelajaran Matematika.
Proceedings of the 4th International
Conference on Teacher Education
Putra,
R. M. S. (2010).Tradisi Hermeneutika dan Penerapannya dalam Studi Komunikasi. ULTIMA Comm,2(2). 73. https://doi.org/10.31937/ultimacomm.v4i1.431
Soeprapto,
S. (2013). Landasan Aksiologis Sistem Pendidikan Nasional Indonesia dalam
Perspektif Filsafat Pendidikan. Cakrawala
Pendidikan, 2(1). 267. https://doi.org/ 10.21831/cp.v0i2.1485
Surakhmad,
W. (2009). Pendidikan Nasional, Strategi,
dan Tragedy Jakarta: Kompas
Susanto,
H. A., (2012). Nilai Matematika dan Pendidikan Matematika dalam Pembentukan
Kepribadian. Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran, 19(1). 116.
Retrieved from http://journal.um.ac.id/index.php/pendidikan-dan-pembelajaran/ article/view/3205
Swadener,
M., & Soedjadi, R. (1988). Values, Mathematics Education, and The Task of
Devel-oping Pupil’s Personalities: an Indonesian Perspective. Educational Studies in Mathematics, 19.
193. https://doi.org/10.1007/978-94-017-2209-4_5
Toptaşa, V., &
Gözelb, E. (2018). Investigation of the Metaphorical Perceptions of the Parents
on the Concept of “Mathematics”. International
Electronic Journal of Elementary Education, 10(5). 621.
https://doi.org/10.26822/iejee. 2018541311
No comments:
Post a Comment
Mari berkomentar...